Misteri Kepergian Ibu - 6


B
aca part sebelumnya:

Part 1

Part 2

Part 3

Part 4

Part 5

Part 6


"Semua orang tahu kalau ibumu janda, Na. Dengan status itu memang mudah untuk menjadi gosip. Awalnya ibumu tak terlalu peduli. Tapi ketika ada seorang perempuan yang memakinya di depan umum hingga membuat gempar desa ini, ibumu langsung drop. Dia tak mau makan, tak mau keluar rumah, tak mau bicara," jelas mbah Miah.

"Siapa perempuan itu?" tanya Riana penasaran. Sumpah demi apapun, Riana rasanya ingin membalas memaki orang itu di depan umum. Berani-beraninya dia memperlakukan ibu Riana seperti itu! Kisah hidup ibu Riana saja sudah menyedihkan, kenapa bisa-bisanya menambah beban?

"Dia Bu Sri, ibunya Andi yang tinggal di belakang rumah kita," jawab mbah Miah.

"Andi? Andi yang jemput Riana kemarin? Andi yang selalu nemenin Riana belakangan ini?" tanya Riana tak percaya.

"Lah iya toh. Siapa lagi di sini yang namanya Andi?" sahut mbah Miah.

Jadi, sikap Andi yang selama ini berbaik hati pada Riana ada maunya? Dia merasa bersalah atas kelakuan orang tuanya? Atau merasa turut andil dalam kematian ibu Riana karena membuat depresi? 

Riana memijit keningnya yang mendadak terasa berat. Kenapa selalu saja ada hal yang datang dan mengejutkan Riana?

"Na, mbah tahu kamu masih sulit menerima kenyataan ini. Tapi mau sampai kapan? Kamu ndak kasihan sama ibumu? Biarkan dia tenang di sana," pinta mbah Miah kemudian.

"Riana justru ingin membuat ibu tenang dengan menyelidiki penyebab kematian ibu yang sebenarnya, Mbah. Riana yakin ada hal yang salah di sini. Riana nggak mau ibu diingat karena kematiannya yang tragis," jelas Riana.

"Lagipula polisi dan pengurus desa juga sudah menyimpulkan jika ibumu depresi lalu gantung diri kan, Na? Jadi, apa lagi yang mau kamu cari?" sahut Lek Ani.

Riana menghela nafasnya pelan, "Tolong. Biarkan Riana menuntaskan semua kecurigaan Riana. Kalau memang tidak terbukti, baru Riana akan berhenti."

Mbah Miah dan Lek Ani berpandangan, mereka akhirnya mengangguk dan membuat Riana langsung tersenyum riang. 

"Kalau gitu Riana kembali ke kamar dulu," pamit Riana.

Setelah kepergian Riana, mbah Miah dan Lek Ani langsung menghampiri Lek Ridwan yang berada di depan agar nasi besek segera dibagikan. Warga terdekat yang tak hadir hanya sedikit, jadi seharusnya tak membutuhkan waktu lama.

Sementara itu di dalam kamar, Riana langsung duduk di atas ranjang dan membuka buku diary milik ibunya lagi. Dibacanya satu persatu halaman yang ditulis ibunya selama ini. Air mata pun kembali membanjiri kedua pipi Riana. Dia seolah ikut merasakan kepedihan ibunya selama berada di sini.

Mata Riana pun terpaku pada tulisan pada tanggal 30 September 2021.

Hari ini rasanya dunia sudah semakin tak layak untuk ditempati. Tak ada tempat berlabuh, tak ada teman berbagi lara. Apa sebaiknya aku meninggalkan dunia ini saja? Toh sudah tak ada lagi yang peduli padaku. Jika ya, bagaimana cara terbaik untuk meninggalkan dunia ini?

Astaga, Bu. Kenapa bisa berpikir seperti itu? Riana tentu masih peduli pada ibu. Riana sangat mengkhawatirkan keadaan Ibu. Setiap hari bahkan Riana menelpon untuk tahu kabar ibu, tapi ibu yang selalu menutupi dan berkata baik-baik saja. 

Bu, apa ini memang yang ibu inginkan? Pergi dari dunia ini? Apa sudah sangat melelahkan dan tak menyenangkan hidup ibu? Apa ibu benar-benar menyerah?

Riana meletakkan buku diary milik ibunya di kasur dan dia menarik kedua lututnya mendekati wajah agar bisa menjadi tumpuannya untuk menangis. Ibunya ternyata memang sudah sedepresi itu hingga ingin mati. 

Di tengah tangisnya, tiba-tiba ponsel Riana berbunyi. Riana mendongakkan kepala dan menghapus air matanya. Siapa yang menelepon? 

Andi calling..

Andi? Mau apa lagi dia?

"Hallo," sapa Riana.

"Na. Saya lagi di jalan dan tahu apa yang saya dengar?" balas Andi tanpa basa-basi dan menjawab sapaan Riana.

"Cukup, Ndi. Kamu nggak usah melakukan apapun lagi," tegas Riana.

"Maksud kamu?"

"Saya nggak butuh bantuan kamu jika itu dilakukan untuk menebus perlakuan ibu kamu pada ibu saya."

Andi menghela nafasnya, "Jadi, kamu sudah tahu?"

"Iya. Saya nggak nyangka, orang yang katanya mau membantu ternyata termasuk ke dalam salah satu penyebab kematian ibu. Kalau ibu kamu nggak ngelakuin itu, pasti ibu saya nggak akan sedepresi itu."

"Tapi, Na.."

"Sudah. Tak usah melakukan apapun lagi. Saya bisa mencarinya sendiri. Sudah malam. Permisi," kata Riana yang langsung memutuskan sambungan teleponnya.

Di tempat lain, Andi mengusap rambutnya gusar. Dia memang ingin menebus kesalahan ibunya dengan membantu Riana mengungkap misteri kepergian ibunya. Apa Andi salah?

Andi langsung mengetik sesuatu pada Riana dan dikirimkannya.

Na, saya minta maaf atas tindakan ibu saya. Saya tahu, hal itu sangat mempengaruhi mental ibumu hingga semua ini dapat terjadi. Maka dari itu, izinkan saya ikut bertanggung jawab. Saya akan bantu kamu hingga akhir.

Ohya, kata ibu saya sebelum peristiwa itu terjadi, terdengar keributan yang cukup keras dari rumah mbahmu. Sepertinya ibumu sedang berdebat dengan Lek Ridwan. Mbah Miah dan Lek Ani juga sesekali terdengar menimpali. Mungkin info ini bisa membantu.

Mereka ribut? Apa yang mereka ributkan? Kok tumben sekali?

Bersambung..


Waahh, menjelang tamatnya cerbung ini sudah terbayangkan belum ujungnya? Haha, saya sejujurnya juga masih memilih mana ending yang paling cetar dan membuat semua berdecak "waaaaw".

Btw, ceritanya nyambung nggak sih? Huhu, proses pembuatannya terbilang agak ajaib soalnya. Dikerjakan ketika mata sudah berat mau tidur dan otak sudah terbagi tak jelas antara menyusun cerita atau mimpi, maka voila! Ini lah cerita yang kalian baca. 

Kalau nggak nyambung, nggak seru, nggak cukup dapat feel misterinya, tolong dimaafkan ya. Saya buka juga loh komentarnya. 

Terima kasih



Komentar

Posting Komentar