Sarjana tapi Jadi Ibu Rumah Tangga (saja)??

"Sekarang di rumah saja? Tidak mengajar lagi? Sarjana padahal kan ya? Nggak sayang apa gelarnya?"

"Orang tuanya sudah bayar kuliah mahal-mahal padahal. Tapi malah memilih untuk nggak kerja. Nggak bisa balikin modal dong namanya."

Hai, Bun..

Pernah mendapat pertanyaan seperti itu? Apalagi bagi para bunda yang saat ini sedang memfokuskan diri untuk keluarga, dengan berjuang di rumah. Kalau boleh saya tebak, pasti pernah. Sering malah. 

Lalu apa rasanya? Kesal? Marah? Sedih? Geregetan? Kalau saya berasa gemas gimana gitu. Bawaannya jadi mau nyubit sampai biru *eh.

Terus bagaimana Bunda semua menjawabnya? Kalau saya lebih sering menjawab, "Iya, di rumah saja. Anak tiga begini, kalau ditinggal kerja siapa yang mau ngurusin? Lagipula suami juga meminta saya untuk di rumah saja. Tugas istri hanya menurut kan?"

Biasanya sih pada langsung diam pas saya jawab begitu. Mungkin mereka mikir juga, iya ya ketiga anaknya mau diapain kalau ditinggal kerja. Diasuh eyangnya, kasihan. Bisa encok dan darah tinggi mereka. Mau pake pembantu atau babysitter, satu orang pasti nggak cukup kuat untuk mengasuh tiga anak. Nah, kan baru ikut mikir saja sudah pusing. Belum kalau harus bantu ngurus dan kasih biaya. Lagian siapa suruh mikirin hidup orang lain, wkwk.

Tapi saya paham sih kenapa pertanyaan itu bisa muncul. Pertanyaan itu juga tidak sepenuhnya salah. Mungkin mereka hanya berbeda cara memandang hidup dan menentukan prioritasnya. 

Yup. Masalah ini sangat erat dengan apa yang kita pilih dan perjuangkan dalam hidup.

Bagi para ibu yang bekerja, mungkin itu memang pilihan dan prioritas hidupnya. Atau bahkan mereka tak ada pilihan karena dia memang harus melakukannya. Untuk membantu perekonomian keluarga alias menambah penghasilan misalnya. 

Nah, saya tak mau membahas masalah itu sekarang. Bisa menjadi debat tak berujung soalnya. Saya justru ingin menyoroti pertanyaan di atas tadi: "Memang salah kalau seorang sarjana memutuskan menjadi ibu rumah tangga?"

Walau jawabannya dominan yang bilang tidak salah, tapi pasti tetap saja ada yang bilang salah dengan beragam alasannya. Sekali lagi. Ini adalah tentang pilihan dan prioritas.

Untuk saya pribadi, di usia ketiga anak saya yang katanya sedang dalam masa emas mereka, saya memilih untuk di rumah. Saya memilih untuk menjalani hari yang meski tak selalu berjalan indah, tapi Insyaallah penuh berkah.

Tak usah lah saya jabarkan lagi seberapa banyak keberkahan dan kemudahan kita meraih tiket surga bila bisa menjadi sebaik-baiknya contoh dan guru bagi anak. Tak usah pula saya jabarkan lagi suka duka yang mewarnai hari-hari selama di rumah hingga kadang rasa jenuh dan putus asa menghampiri *malah curhat, haha.

Tapi yang ingin saya garis bawahi di sini adalah kita, orang tua, adalah "penanggung jawab" anak-anak kita yang kelak akan menjadi generasi penerus di bangsa ini. Yup. Di tangan anak-anak kita ini lah masyarakat, negara, bahkan agama ini akan dibawa. Mau semakin baik, atau malah semakin buruk.

Berat ya? Banget. Lihat saja di berita bagaimana kondisi pergaulan anak zaman sekarang, keadaan kehidupan bermasyarakat, termasuk keadaan para pejabat negara. Uh, bikin panas dingin nggak sih? Maka dari itu, saya dengan segala keterbatasan ini akhirnya memilih untuk berjuang bersama anak-anak di rumah. Mempersiapkan para generasi penerus yang kelak akan membawa kebaikan dunia akhirat. 

Duh, jadi berasa pahlawan bertopeng ya? Hihihi. Tapi serius seh. Di zaman sekarang ini, jangankan mempersiapkan anak-anak untuk menjadi generasi penerus gemilang, untuk melindungi mereka dari "rusaknya" kehidupan anak zaman sekarang saja saya pikir orang tua harus melakukan upaya yang luar biasa ekstra.

Lalu apa hubungannya dengan gelar ibu sebagai sarjana? Tentu saja ada. Dengan memiliki ilmu, otomatis ibu tahu apa saja yang akan diajarkan dan dididik ke anak-anak. Yah, setidaknya sudah ada bekal sedikit untuk bisa mendampingi mereka.

Nah, bagi yang ibunya bukan sarjana gimana? Nggak bisa dan nggak baik gitu? Tentu nggak begitu juga maksudnya, Bun. Sarjana atau tidak, asal sang ibu bisa dengan tulus tumbuh dan belajar bersama anak, pasti hasilnya sama bagusnya.

Hanya saja di sini kebetulan saya sedang bercerita apa yang saya alami. Posisi saya espede yang cuma sempat mengajar di sekolah tak sampai 2 tahun. Jadi, komentar seperti judul di atas sering menghampiri dan menghantui. Walau kenyataannya sih saya cuek aja, hehe.

Well, terakhir saya mau bilang. Apapun pilihan kita sekarang, jalani dengan sungguh-sungguh maka hasilnya pasti akan cemerlang. Saya saat ini fokus di rumah, bekerja di ranah domestik, jadi saya ingin sungguh-sungguh di sana. Bagi yang memilih hal sama, yuk niatkan untuk membentuk generasi hebat. Jangan lupa untuk tetap semangat dan berbahagia.


Salam,

Putri.

Komentar

  1. Yes, pilihan,dan keluarga adalah prioritas. Kalau semua kerja ntar ditanya, "Dulu kamu ajarin apa aja anakmu?"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiks, iya kak. Itu salah satu hal yg dipikirin: pertanggungjawaban

      Hapus
  2. Setuju, Kak. Ibu merupakan madrasah pertama buat anak-anaknya.

    Keep hamasah, salam buat ketiga malaikat kecilnya #hug

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangaat! 💪

      Salam balik tuk keluarga di rumah yaaa 😊

      Hapus
  3. walau kadang aku munyer2 kepalanya gara-gara komentar tak sedap begitu, tapi, bisa berhasil untuk bodo amat hahaha, wong yang ngarti dengan kondisi kita ya,,,kita sendiri kan ya... hehehhe

    semangaat!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Abaikan saja netizen yg julid *eh berasa seleb

      Hapus
  4. Menikmati segala posisi, baik jadi ibu rumah tangga saja atau bekerja di luar rumah karena yang kita butuhkan hanya satu bahagia. Peduli amat dengan komentar orang.

    BalasHapus
  5. Kalau aku juga pengan jadi IRT tapi kerja dari rumah gitu. Makannya banyak belajar terutama ngeblog. Siapa tau kan nanti udah terkenal tinggal menikmati hasilnya aja waktu udah nikah. Nggak memulai dari awal yang perjuangannya pengen jungkir balik dan kadang nangis menyerah hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak. Maunya juga gitu. Wlw IRT tapi bisa menghasilkan. Aku sempet dagang ini itu, tapi mandeg krn males jualan, wkwk. Akhirnya beralih ke nulis deh. Siapa tahu rezekinya di sini. Bisa nyalurin bakat terkubur plus dapet penghasilan. Aamiin.

      Hapus
  6. Kita samaan nih, ya akhirnya pakai juruh bodo amat. Asalkan suami udah ok, orang lain mau bilang apa juga terserah. Ngapain ngurusin kata orang, saat kita pegel-pegel mereka juga ga bakal mijitin kan. Asal kita udah punya standar sukses dan bahagia perkataan orang lain biarkan ajaaa...kek angin gitu wusss. Lewat telinga aja, masuk telinga kanan keluar lagi di teling kanan wkwkkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebuah seni untuk bersikap bodo amat lah yaa 😁

      Hapus
  7. Betul Kak, pilihan apapun yang diambil pasti ada konsekuensinya. Semoga bisa memberikan yang terbaik, baik bekerja di luar ataupun di rumah, Karena sama sama capek hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Kak. Iya, kalau gak mau capek, ga usah hidup. Gitu kata orang mah..hehe

      Hapus
  8. Semangat, kak
    Apapun pilihan kakak, yang penting kakak nyaman

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat juga tuk kakak..
      Aamiin, smoga slalu nyaman, aman, dan bahagia 😁

      Hapus
  9. Padahal jadi ibu rumah tangga itu kereen bangett

    BalasHapus

Posting Komentar