Teruntuk Kamu, yang Suka Membanding-bandingkan

 


Assalammualaikum..

Postingan kali ini saya akan menuliskan hal yang sempat mengganjal di pikiran belakangan ini. Saat ini si anak tengah saya, Nayy, tidak jadi memasuki jenjang TK A ketika tahun ajaran baru kemarin. Jadi, tugas saya adalah memberi rangsangan dan pelajaran pada Nayy yang setara dengan pelajaran anak TK A di sekolah.


Nah, masalah pun akhirnya muncul. Belakangan ini saya malah jadi sering membandingkan Nayy dengan kakaknya dulu ketika duduk di bangku TK A secara formal. Setiap saya mengajarkan Nayy, pasti keluar komentar:


"Dulu Kakak sebelum masuk TK A sudah hafal huruf loh, Nak. Kamu kok belum?"


"Dulu kakak waktu TK A sudah bisa makan sendiri. Kamu bagaimana?"


"Dulu kakak dapat soal dari bu guru lebih banyak dan susah. Tapi kakak tetap semangat mengerjakan. Sedangkan kamu? Kamu diajarin sedikit saja malah sering menolaknya."


Astaghfirullah..

Kok rasanya saya sudah jahat banget ya sama Nayy? Kenapa saya memasang tolak ukur si kakak pada dirinya? Kenapa saya membandingkan kemampuan Nayy dengan kemampuan si kakak meski saya tahu cara dan proses belajar mereka berbeda? 


Padahal kita sebagai orang tua juga pasti akan sedih jika dibanding-bandingkan dengan orang tua yang lain. Misalnya:


"Bun, masakan mamanya si A enak banget loh. Aku kemarin sudah coba. Bunda nggak bisa masak begitu?"


Atau


"Bun, itu mamanya si B kalau setiap jemput ke sekolah pasti dandan cantik banget. Pasti si B bangga punya mama yang cantik begitu. Bunda kenapa nggak mau kaya gitu?"


Deg! Berasa ketiban pohon nggak sih? Sakit. Berdarah. Teriris. 


Nah, itu juga lah pasti yang dirasakan Nayy dan juga banyak anak yang lain. Saya yakin, tak hanya saya di sini orang tua yang masih suka khilaf melakukan hal itu. Betul? (Eh, kenapa jadi cari teman yak? Hehe).


Balik lagi soal perasaan anak yang dibanding-bandingkan tadi. Sebagai orang tua, pastinya kita juga tahu bahwa anak kita juga merasa sakit hati, sedih, merasa tak berguna, tak baik, dan merasa tak bisa apa-apa, jika berada dalam keadaan itu. Tapi memang dasarnya setan yang suka membutakan mata dan hati manusia. Jadinya tertutup deh rasa peduli kita itu. (Sekarang malah nyalahin setan, wkwk.)


Padahal ya, yang namanya keterampilan dan kemampuan itu memiliki cara dan waktunya sendiri untuk dikuasai oleh seseorang. Cara belajarnya berbeda, kecepatan menyerapnya berbeda, proses akhirnya pun berbeda juga. Tidak bisa disamakan.


Jadi, daripada sibuk membandingkan atau malah jadi baper karena anak-anak dirasa belum berkembang sesuai keinginan kita, yuk mulai gali diri anak kita lagi. Kenali anak kita. Cari tahu dia tipe anak yang belajar dengan model seperti apa, dia suka belajar dengan cara yang bagaimana, dia mau kita membimbingnya melakukan apa. Dengan begitu, kita akan lebih mudah dalam mengajarkan sesuatu pada anak kita. 


Ingatlah..

Setiap anak memiliki waktu dan caranya sendiri untuk bisa melakukan sesuatu. Tugas kita sebagai orang tua hanya mengarahkan, membimbing, atau membantu jika mereka memerlukannya. Jangan bebani anak dengan sederet mimpi atau target yang kita pasang tanpa mempedulikan keadaan diri mereka sendiri.


Jika bisa begitu, pasti hati kita sebagai orang tua akan lebih legowo dan nrimo. Lihat anak lain sudah bisa ini itu, kita nggak akan panasan. Kita bahkan justru bisa ikut bangga dan semakin terpacu untuk menjadi fasilitator anak yang baik. Fasilitator ya, Moms. Bukan diktator yang memaksakan kehendak. 


Nah, menulis ini jadi membuat hati dan pikiran saya kembali lurus kan..


Belum terlambat untuk memulai menjadi orang tua yang lebih baik dan bijaksana. Layaknya kita yang ingin anak terus belajar, maka kita pun juga harus mau belajar. 


Semoga kita bisa terus menjadi orang tua yang sabar menikmati proses pertumbuhan anak meski terkadang berjalan pelan, tertatih, dan belum bisa memenuhi harapan. 


Semoga kita bisa bijaksana menyikapi segala sikap anak dalam proses belajarnya, yang terkadang membuat kita banyak beristighfar. 


Terakhir dan yang utama, semoga kita dimampukan menjadi sahabat sekaligus guru terbaiknya dalam menjalani kehidupan. Yes. Belajar tak hanya tentang sekolah dan otak saja kan? Tapi juga tentang sikap, prinsip, pandangan hidup, dan adab dalam keseharian. 


Jujur, saya menulis ini bukan untuk menggurui atau merasa paling benar. Saya menulis justru sebagai bentuk introspeksi diri hingga akhirnya saya sadar bahwa saya salah. Jika ada pendapat yang berbeda mohon dimaafkan dan dikoreksi. 


Salam,

Putri.


Komentar

  1. Aku sediihh, sebagai ibu dari 4 anak yg 3 diantaranya hampir berdekatan usianya sering melakukan ini kak

    Terima kasih sudah mengingatkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, Kak Emmi juga punya anak yang jaraknya berdekatan? Saya juga, huhu.
      Sama-sama. Saya menulis juga untuk mengingatkan diri sendiri, Kak.

      Hapus
  2. Dulu, sewaktu kecil, saya juga sering dibanding-bandingkan. Bedanya, orang-orang lebih mengarah ke fisik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, ini juga bikin baper pastinya ya, Kak? Tapi semua sudah berlalu. Semua akan glowing pada waktunya *kalau kata tiktok begitu, hehe

      Hapus
  3. Pernah kayak gini juga, sampai suatu saat pernah ada anak yang bilang, aku kan bukan mbak A. Trus mak deg gitu. Iya teorinya tahu, bahkan prakteknya kita pun nggak suka dibandingkan. Tapi alam bawah sadar yg bergerak krn dulu pernah merasakan juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyess. Itu lah emak-emak ya, Kak.
      Ngerti, tapi masih suka "khilaf". Tapi kita semua pasti akan belajar tuk lebih baik lagi :)

      Hapus
  4. Mba ketiban pohon, saya ketiban dahannya jg mba. Ngena sekali tulisannya. Benar kata bunda Tami, kita tau teorinya membanding-bandingkan itu bukan hal yang benar tapi alam bawah sadar dan ego yang jadi lebih kedepan ketika berhadapan pada posisi kita tidak mendapatkan apa yang kita harapkan terutama pada anak. Begitu sadar kita merasa bersalah pada sikecil, tp nnt kumat lagi.
    Makasih solusinya mba ku. Perbaiki niat, kenali anak lebih jauh, dan lebih banyak belajar lagi.
    Semangat terus ya bunda bunda hebat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangaaat! Kita terus belajar jadi bunda hebat :)

      Hapus
  5. nampol banget tulisannya, Kak,, saya juga suka gak sadar seperti itu. sampai2 si kaka suka protes.. baru deh nyadar dan nyesel..

    makasih pengingatnya, Kak
    salam kenal dari Niahm yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, Kak Niah. Salam kenal juga :)
      Sama-sama, Kak. Ini juga pengingat untuk diriku.

      Hapus
  6. Alhamdulillah ya kak masih dikasih kesempatan buat memperbaiki dan nggak membandingkan lagi. Aku ngerasain si pas kecil dibandingin tuh nggak enak, dulu si mungkin nggak ngeh tapi kadang jadi ingatan yang gak enak sekarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berarti membekas banget ya, Kak? Ya Allah.. Mudah-mudahan aku terus bisa bijaksana sama anak-anak.

      Hapus
  7. memang di banding-bandingin itu gak enak :(

    BalasHapus
  8. Setiap anak itu istimewa, pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Mereka lahir dengan potensi yang berbeda karena kelak akan menjadi "pemimpin" dalam hal yang beda pula. Ada tugas yg tak sama dari Tuhan-Nya. Semoga besok kalau punya anak kedua dst bisa tetep mikir gini ya... huhuh emak2 kadang teori yg indah ilang karena kerasukan singa wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Kak. Kalau lagi "waras" pasti langsung inget, siapa tahu anakku yang ini justru yang memudahkan jalanku menuju surga, huhu

      Hapus
  9. Baca kisah ini jadi suka bersyukur, jarak dengan kakak dan adik aku lumayan jauh (anak KB suntik gitu, jadi minimal jarak 5 tahun antar anak)
    Lumayan tidak pernah dibandingkan karena punya masanya masing-masing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, bagus banget Kak. Aku jarak si kakak dan anak kedua hanya 17 bulan 😅
      Malah kaya anak kembar, wkwk

      Hapus
  10. Karena setiap orang/anak itu istimewa dan punya kelebihan masing-masing

    BalasHapus
  11. Kadang aku pun suka begini hiks.. Makanya setiap menjelang tidur selalu minta maaf ke anak-anak, bahwa ibunya ga sempurna, banyak khilaf banyak salah. Semoga setiap hari kita selalu bertumbuh jadi orang tua yang benar bagi anak-anak kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Berasa punya beban tersendiri ya jadi orang tua itu. Yah, wajar sih karena memang balasannya surga. Jadi, kudu butuh usaha ekstra 💪

      Hapus
  12. Hoho, kadang menyemangati anak-anak dengan menunjukkan orang lain itu tipis ya kak bedanya sama membandingbandingkan, susah hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naah ini. Setuju. Niatnya mau kasih contoh eh gak taunya anaknya baper. Serba salah..hehe

      Hapus
  13. Kadnag tidka terasa ya mb, eh ga tahunya ternyata masuk ke banding-bandingkan

    BalasHapus

Posting Komentar