Misteri Kepergian Ibu - 4


Baca part sebelumnya:

Part 1

Part 2

Part 3

Part 4:


Riana menatap buku diary yang kini berada di tangannya. Jangan tanya sebesar apa rasa penasaran akan cerita apa saja yang sebenarnya dialami oleh ibu selama di desa ini. Tapi membayangkan jika Riana akan terluka lagi ketika mengetahui kebenarannya, membuat jari Riana tak tergerak sedikitpun untuk membukanya.

Bagaimana jika ternyata ibunya benar tidak gantung diri? Bagaimana jika ternyata ibunya meninggal dengan cara yang lebih mengenaskan? Dibunuh misalnya. Membayangkan betapa menyedihkan akhir hidup ibunya itu tiba-tiba membuat Riana kembali dipenuhi emosi. 

Ini semua gara-gara ayahnya. Kalau saja ayahnya tidak berselingkuh, kalau saja ibu tidak memilih untuk bercerai, kalau saja ibu tidak memutuskan untuk kembali ke desa ini, mungkin ceritanya tak akan berakhir seperti ini. 

Riana menekuk lututnya dan membenamkan kepalanya di sana. Dia kembali menangis. Kali ini tangisannya penuh dengan rasa penyesalan dan menyalahkan takdir yang tampaknya tak pernah bosan menguji kekuatan hatinya.

Drrtt drrtt

Ponsel Riana yang tiba-tiba bergetar membuatnya mendongak dan segera meraihnya. Pesan dari Andi.

Na, buka voice note ini.

Itu kata pesan dari Andi dengan satu lampiran pesan suara berkisar satu menit itu.

Riana mengusap air mata yang masih membasahi pipinya. Lalu dia menekan pesan suara itu dan mendekatkan ponselnya di telinga.

“Kemarin pak polisi sudah datang ke rumah Mbah Miah kan ya?”

“Iya. Tapi Mbah Miah ndak mau kalau jenazah Bu Rini diautopsi. Katanya kasihan sudah matinya mengenaskan kok ya badannnya harus diacak-acak.”

“Jadi, kesimpulannya alamarhumah meninggal karena apa?”

“Depresi lalu gantung diri.”

“Bukan pulung gantung toh? Katanya ada yang lihat benda itu jatuh ke rumah Mbah Miah?”

“Sopo sing lihat? Pak Pardi? Wong dia itu juga katanya.”

“Walah, tak kira betulan. Kalau gitu kasihan ya Bu Rini sampai iso gantung diri.”

“Tapi kata Bu Inah yang mandiin jenazahnya, Bu Rini tu apik badannya. Ndak ada tanda-tanda hasil gantung diri. Biasane kalau gantung diri itu kan ada bekas tali neng leher, matane melotot, lidah juga suka keluar, tapi iki ora loh. Semuanya normal. Utuh.”

“Masa sih? Wah, jangan-jangan bukan meninggal gantung diri ya? Memangnya sopo sih yang bilang kalau Bu Rini gantung diri?”

“Mbah Miah lah. Katanya jam dua pagi waktu Mbah Miah mau ke kamar mandi dengar bunyi benda jatuh kenceng dari kamar Bu Rini. Pas dilihat ternyata Bu Rini sudah di lantai dan di lehernya ada tali.”

“Wah, ngono toh.”

Setelah rekaman itu selesai, Riana terdiam. Beragam kemungkinan memenuhi kepalanya. 

Ponsel Riana kembali bergetar. Pesan dari Andi lagi.

Sudah dengar kan? Fix bukan pulung gantung. Jadi, kesimpulannya ibumu benar gantung diri karena depresi atau meninggal dengan cara lain yang dibilang sebagai gantung diri.

Pertanyaannya, siapa yang tega menebar gosip itu? Apa alasannya?

Riana mendesah pelan. Kenapa Andi malah bertanya hal yang jadi pertanyaan juga dibenak Riana?

Riana menyingkirkan buku diary dan ponselnya ke meja kecil yang ada di samping tempat tidur. Rasanya kepalanya sudah mau pecah. Terlalu banyak tekanan yang tiba-tiba dia terima dan tubuhnya sudah merasa lelah.

Bu, nanti Riana akan mencari tahu yang sebenarnya. Riana akan membuat kematian ibu memiliki kesan yang lebih baik. Riana ingin membuktikan bahwa ibu adalah perempuan tangguh yang tak gampang menyerah. 

Perlahan mata Riana mulai terpejam. Biar lah, sebentar saja Riana beristirahat. Tak hanya fisik yang lelah, batin Riana pastinya juga butuh untuk diam tak sibuk merasakan atau memikirkan apapun.

Adzan isya sudah berkumandang beberapa menit yang lalu di masjid yang tak jauh dari rumah mbah Miah. Para warga yang mengikuti solat berjamaah pun sudah pulang. Bukan ke rumah masing-masing, tapi mereka langsung menuju rumah mbah Miah untuk melakukan pengajian meninggalnya Bu Rini, ibu Riana.

Riana yang masih terlelap di atas kasurnya, baru terbangun ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk.

“Na.. Penganjian ibumu sudah mau mulai. Ayo, keluar,” kata Lek Ridwan, orang yang mengetuk pintu tadi.

“Iya Lek, Riana pakai jilbab dan ganti baju dulu,” sahut Riana sambil bangun dari tidurnya.

Ketika dia ingin melihat jam di ponselnya, Riana merasa ada yang aneh. Loh, kenapa cuma ada ponselnya? Dimana diary ibunya?


Bersambung..


Gawat! Satu-satunya bukti yang dimiliki Riana tiba-tiba menghilang. Kemana buku itu? Apakah ada yang mengambilnya?

Saksikan jawabannya besok yaa :) 


 

Komentar

Posting Komentar