Misteri Kepergian Ibu - 3


Bagi yang ingin membaca part sebelumnya silakan klik:

Part 1

Part 2

Part 3:

Riana menatap gundukan tanah yang sudah bertabur bunga itu dengan air mata yang tak lagi terbendung. Benar kata orang, melepas kepergian orang terkasih yang paling berat adalah ketika jenazahnya dimasukkan ke liang lahat. Saat itu mendadak rasanya kita akan berada di dunia yang berbeda. Tak lagi bisa bertemu, tak lagi bisa bersama. Ah, Ibu.. Riana sayang Ibu..

Satu persatu rombongan pengantar jenazah mulai meninggalkan lokasi. Hingga akhirnya hanya menyisakan Riana, Mbah Miah, Lek Ridwan,  Lek Ani istrinya Lek Ridwan, dan Andi. Sejak rombongan pengantar itu bergerak menuju pemakaman, Andi memang terus berada di sebelah Riana. Andi tahu jika saat ini adalah saat terberat bagi Riana. Dia pernah berada di posisi Riana yang bahkan bingung untuk bersandar pada siapa.

“Bu, Ibu balik saja ke rumah. Sudah mau magrib. Biarkan Riana di sini sebentar,” ajak Lek Ridwan pada Mbah Miah yang berdiri berpegangan pada Lek Ani.

Mbah Miah mengangguk. Usianya tak lagi dapat berbohong. Sejak tadi berdiri membuat tulangnya terasa mau copot.

“Na, Mbah duluan ya. Kamu juga jangan lama-lama,” pamit Mbah Miah.

Riana mengangguk, “Riana sebentar lagi, Mbah.”

Setelah kepergian Mbah Miah bersama Lek Ridwan dan Lek Ani, kini tinggal lah Andi bersama Riana.

“Menangis lah sepuasnya hari ini. Tapi besok, kamu sudah harus berdiri tegak tanpa kesedihan,” hibur Andi. 

“Nggak mungkin secepat itu, Ndi,” ucap Riana.

“Mungkin kok kalau kamu memang mau. Lagipula kamu punya hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan selain meratapi kepergian Ibu kamu. Doakan dia. Itu yang sebaiknya kamu perbanyak,” balas Andi.

Andi benar. Ibu lebih butuh doa dari Riana dibanding rintihan dan tangisannya. Ohya, jangan lupakan juga soal pencarian kebenaran tentang kematian ibunya. 

“Ndi, sepertinya dugaan kamu benar. Ibu sepertinya tidak berniat bunuh diri. Bahkan bukti yang menunjukkan kalau Ibu gantung diri tidak ada,” kata Riana kemudian.

“Kamu sudah menyelidikinya?”

“Sedikit. Tapi itu belum cukup kuat,” jawab Riana.

“Ya sudah, kita selidiki pelan-pelan saja. Sudah mau adzan magrib. Kita pulang yuk,” ajak Andi.

Riana mengangguk. Dia pun mengikuti Andi yang berjalan lebih dulu.

Ketika sampai di tempat parkir motor, tiba-tiba Riana melihat sosok yang langsung membuat emosinya memuncak.

“Mau ngapain ayah ke sini?!” hardik Riana pada sosok lelaki paruh baya dengan wajah sedihnya. Ah, mungkin pura-pura sedih tepatnya.

“Na..” sapa lelaki tua itu.

“Ibu sudah tenang sekarang. Ayah masih mau menganggu Ibu?” tanya Riana sinis.

“Tidak, Na. Ayah hanya ingin mengucapkan perpisahan pada ibumu,” jawab ayah Riana.

“Ayah tidak diterima di sini. Silakan pergi!” usir Riana.

“Na, tolong jangan begini. Biar bagaimanapun ibumu pernah menjadi bagian hidup ayah. Ayah ingin melepas kepergiannya,” pinta ayah Riana dengan wajah memelas.

Riana tersenyum sinis, “Bukannya Ayah sudah melepas ibu beberapa minggu yang lalu? Sejak saat itu Ibu sudah kehilangan semuanya. Senyumnya, kebahagiaannya, dan sekarang bahkan hidupnya.”

“Ah, Riana rasa kematian Ibu ada kaitannya dengan ayah. Ayah yang membuat ibu sangat terluka hingga memutuskan untuk gantung diri. Ayah secara tidak langsung telah membunuh Ibu!” kata Riana sambil menatap ayahnya tajam.

“Na, istighfar. Jangan bicara seperti itu,” kata Andi mencoba membuat Riana lebih tenang.

“Kamu menyuruh saya istghfar? Seharusnya kamu suruh lelaki hidung belang itu yang banyak beristighfar. Bagaimana bisa dia selingkuh dari Ibu yang sudah menemani dia puluhan tahun?!” kata Riana dengan emosi yang sudah tak tertahankan.

“Sampai kapanpun Riana nggak akan pernah memaafkan Ayah. Ayah menyakiti Ibu, Ayah menghancurkan keluarga Riana, dan Ayah telah membuat Ibu meninggal. Ayah pembunuh paling jahat sedunia!” tambah Riana sambil berteriak.

Lelaki itu terdiam menatap anak semata wayangnya yang hari ini tampak sangat berantakan. Dia yakin mata indah milik Riana itu pasti sudah mengeluarkan sarinya hingga tak tersisa. Gadis itu jelas terluka. Sedih. Jadi hal yang wajar jika Riana menumpahkan semua kekesalannya pada ayahnya.

“Na, sudah. Kita pulang ya,” ajak Andi sambil mengusap lembut lengan Riana. 

Riana menatap Andi dengan perasaan tak karuan. Jelas dia masih merasa marah pada ayahnya. Dia masih ingin memaki ayahnya yang tak punya malu datang ke sini. Tapi energi Riana rasanya hampir habis. Dia bisa pingsan jika terus berada di sini. Terlalu banyak menangis ternyata membuat energinya terkuras.

“Jangan pernah muncul lagi di hadapan Riana. Riana sudah nggak punya Ibu dan Ayah,” kata Riana sebelum pergi.

Riana lalu membonceng Andi untuk pulang menuju rumah Mbah Miah. Setelah sampai, Riana langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia ingin tidur sebentar saja. Bada isya nanti kata Mbah Miah akan diadakan tahlilan atau pengajian untuk Ibu. Tentu Riana tak mau ketinggalan.

Ketika sudah merebahkan diri di kasur dan mencari posisi bantal yang paling nyaman, tiba-tiba Riana merasa ada sesuatu yang mengganjal di bawah bantalnya. Tanpa banyak pikir, Riana langsung mengangkat bantal itu dan menemukan sebuah buku milik ibunya. Bukankah ini buku diary milik Ibu?

Rasa kantuk yang dirasakan oleh Riana mendadak sirna. Dia malah duduk dan mulai membuka buku tebal berwarna merah marun itu. Apa Riana akan menemukan kebenaran penyebab kematian ibunya di sini?


Bersambung..


Wah, ternyata saking emosinya Riana sampai mengatakan bahwa ayahnya yang telah membunuh ibunya. Perkataan Riana ada benarnya sih, mungkin memang ayahnya yang membuat ibunya sangat terluka hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Tapi apa memang seperti itu? Apa Riana justru akan menemukan jawaban lain setelah membaca buku diary milik ibunya? Nantikan kelanjutannya ya :)


Komentar

Posting Komentar