Misteri Kepergian Ibu - 2

Bagi yang ingin baca part sebelumnya:

Part 1

Part 2:


Riana sampai di rumah bercat hijau muda milik mbahnya itu. Beberapa orang tampak berlalu lalang di sekitar rumah. Sebagian lagi duduk-duduk di teras rumah sambil mengobrol dan minum kopi. Suasana sore yang sejuk seperti ini memang enak jika menikmati secangkir kopi dan ditemani uli goreng buatan ibunya dulu. Ah, ibu. Riana segera turun dari motor dan berlari memasuki rumah Mbah Miah, panggilan mbahnya.

Begitu masuk, semua tatapan orang yang duduk mengelilingi jenazah perempuan berusia lima puluh tahun itu beralih pada Riana. Setelah mereka sadar jika itu Riana, mereka kembali menangis meraung-raung menatap jenazah sahabatnya itu. Yah, ini lah salah satu hal yang Riana tahu tentang desa ini. Setiap ada kejadian buruk yang terjadi, pasti masyarakat sini langsung histeris dan heboh. Mereka dapat menangis meraung-raung, tak peduli jika itu mengganggu orang lain atau menambah panik. Mungkin ini lah bentuk kepedulian mereka yang seolah ikut merasakan kepedihan yang dirasakan. 

“Bu..” Riana akhirnya mendekati jenazah ibunya. Dia duduk di samping kiri, setelah beberapa ibu-ibu bergeser memberi tempat.

Air mata kembali menetes di pipi Riana. Dia tak kuasa menatap wajah ibunya yang tampak damai seolah sedang tertidur itu.

“Kenapa Ibu tinggalin Riana secepat ini?” tanya Riana sambil memegang tangan ibunya yang dilipat di depan dada, di bawah kain kafan yang tertutup kain batik. Ya, begitu Riana sampai, jenazah ibunya ternyata sudah dalam keadaan rapi siap dikubur.

“Bu, Riana sayang ibu. Maafin Riana jika belum bisa memberikan yang terbaik untuk Ibu. Ibu tenang saja. Riana akan terus doain Ibu. Kita bertemu lagi di surga ya, Bu,” perkataan Riana yang syarat akan kepedihan itu langsung membuat ibu-ibu disekitarnya menangis kembali.

“Na..” sebuah suara yang sangat Riana kenal memanggilnya dari arah belakang. Seorang perempuan tua yang berjalan tertatih menghampiri Riana dari dalam kamar.

“Mbah..” Riana langsung menghambur memeluk mbah yang disayanginya itu. “Ibu pergi, Mbah. Ibu ninggalin Riana.”

“Sabar ya, Nak. Sing penting ibumu sudah tenang. Dia sudah ndak pusing sama masalahnya,” hibur mbah Miah sambil mengusap lembut punggung Riana.

“Tapi Riana jadi sendirian, Mbah. Riana nggak punya siapa-siapa lagi,” keluh Riana.

Mbah Miah melepaskan pelukan lalu menatap cucu kesayanganya penuh kasih, “Loh, mbah bukan siapa-siapamu toh? Lek Ridwan dan keluarganya juga bukan? Kamu nggak sendiri, Nak. Kamu masih punya kami, keluargamu.”

“Tapi Riana nggak mau Ibu pergi secepat ini. Oke, Riana tahu kalau ini sudah takdir. Tapi dari sekian banyak cara untuk meninggal kenapa Ibu memilih cara ini? Ibu orang beriman. Ibu perempuan paling bijaksana yang Riana kenal. Lalu kenapa Ibu bisa melakukan itu?” kata Riana yang mendadak histeris.

Beberapa warga yang berada di sekitar Riana menatapnya penuh iba. Dalam hati mereka mengiyakan perkataan Riana. Bu Rini yang mereka kenal memang tampak seperti wanita yang kuat dan beriman, jadi hal yang aneh jika Bu Rini sampai memutuskan untuk gantung diri.

“Ibumu memang sosok yang seperti itu. Tapi kita ndak tahu apa yang sebenarnya dirasakan dia. Mungkin ini hal yang tak bisa dia tanggung sampai akhir. Sudah, jangan menyesali yang terjadi. Kamu istirahat dulu di kamar. Sebentar lagi pemakaman ibumu akan dilakukan,” pinta mbah Miah sambil mengusap lembut pipi Riana.

“Mbah, apa betul ini berkaitan dengan Pulung Gantung?” tanya Riana tiba-tiba.

Mbah Miah tampak kaget, “Kamu sudah dengar hal itu?”

“Andi yang cerita tadi. Siapa yang lihat Pulung Gantung jatuh ke rumah ini? Ada saksinya?” todong Riana.

“Mbah juga ndak tahu siapa. Tadi cuma dengar sekilas saja ada yang bilang begitu,” jawab Mbah Miah.

“Pasti orang itu salah. Dia cuma mau menyebar gosip soal kematian ibu,” tegas Riana.

“Benar atau salah, ibumu juga sudah tiada, Nak. Kamu ndak usah pusing memikirkan hal itu. Kamu istirahat saja sekarang. Jangan sampai kamu malah semaput di kuburan nanti,” balas Mbah Miah.

Riana ingin bicara lagi. Tapi karena Mbah Miah sudah beranjak pergi, Riana akhirnya memilih untuk duduk di samping jenazah ibunya. Riana ingin merekam dengan jelas wajah perempuan yang paling berjasa dalam hidupnya ini.

Maafin Riana, Bu. Riana nggak ada di samping Ibu saat Ibu terpuruk. Riana bahkan nggak peduli dengan perasaan Ibu yang sebenarnya. Riana nggak tahu kalau masalah dengan ayah kemarin benar-benar membuat hati Ibu sakit. Maafin Riana ya, Bu.

Sungguh, jika boleh Riana memutar waktu, dia tak akan mengizinkan ibunya untuk pulang ke desa ini. Mencari ketenangan katanya? Lalu apa yang justru terjadi? Ibunya malah tak bisa hidup dengan tenang bahkan sampai memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Tidak. Ini pasti ada yang salah. Riana yakin kalau ibunya bukan perempuan lemah yang mudah terkena rayuan setan untuk gantung diri. Riana harus menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. 

Dengan cepat Riana pergi ke dalam kamar yang biasa mereka tempati ketika datang ke rumah ini. Riana menatap langit-langit yang separuhnya tak tertutup plafon itu. Apa di sini Ibu menggantungkan talinya? Riana menyalakan senter pada ponselnya dan mengarahkan pada beberapa kayu yang menjadi kerangka plafon berlubang itu. Plafonnya saja sudah runtuh termakan usia, apa kayu itu bisa kuat menopang tubuh Ibu untuk gantung diri?

Astaga! Tiba-tiba Riana menyadari sesuatu. Jika memang ibunya ditemukan meninggal gantung diri, pasti ada banyak tanda di tubuh ibunya kan? Setidaknya ada bekas tali jeratannya di leher ibu. Riana harus memastikannya. Kalau perlu Riana bertanya pada orang-orang yang memandikan jenazah ibunya. Ohya, Riana juga harus bertanya detail tentang kejadian itu pada mbahnya.


Bersambung..


Nah, Riana sudah mulai curiga kalau kematian ibunya bukan karena 'Pulung Gantung'. Bahkan Riana menduga kalau kematian ibunya bukan dengan cara gantung diri. Apakah Riana dapat membuktikan kecurigaannya itu? Saksikan lanjutannya ya :)

Komentar

Posting Komentar