Membesarkan Anak Lelaki dan Perempuan Berbeda?



Menjelang masa sapih si bungsu yang sebulan lagi, mendadak saya jadi banyak merenung. Ternyata membesarkan anak lelaki dan perempuan itu memang berbeda. Setuju nggak?

Masih teringat jelas bagaimana rasanya ketika saya sedang menjalani proses melahirkan si bungsu. Kala itu sakit yang saya rasakan sangat luar biasa. Jauh lebih sakit dari dua anak sebelumnya. Pinggang saya rasanya mau copot. Keringat dingin dan rintihan sudah tak terhitung seberapa banyak saya keluarkan. Parahnya, saya sudah mulai merasakan mulas dua hari tanpa pembukaan sama sekali. Hari ketiga saat saya sudah meminta untuk proses cesar karena merasa tak kuat lagi, baru pembukaan terjadi dengan cepat hingga si anak lanang lahir.

Padahal dulu kedua kakak perempuannya proses melahirkan cepat. Mulas malamnya, pagi lahir. Rasa sakitnya pun lebih kepada besarnya menahan keinginan untuk mengejan padahal pembukaan belum lengkap. Mulas sebelum prosesnya memang sakit, tapi masih bisa saya tahan. Berbeda dengan ketika si bungsu.

Tak sampai situ saja, anak lelaki dikenal lebih sering menyusu. Saya di minggu pertama menjadi ibu baru (lagi) sampai merasa lelah dan sempat mengeluh pada si bungsu seperti ini: “Kok nyusu mulu sih, Dek? Bunda capek. Jangan nyusu terus.” 

Imbas perkataan saya itu, ternyata si dede seharian itu berkurang jauh frekuensi menyusunya. Dia lebih banyak tidur. Lalu ketika waktunya kontrol pasca lahiran seminggu, si dede ternyata divonis kuning oleh bu bidan dan harus segera dirawat. Mungkin karena dia kurang menyusunya hari itu. Panik? Jelas. Merasa bersalah? Banget.

Tanpa pikir panjang, saya langsung membawa dede ke dokter spesialis anak langganan di sebuah rumah sakit swasta. Dokter yang terkenal pro RUM itu bahkan memvonis sama bahwa dede harus dirawat. Dede pun menjalani serangkaian tes darah. Melihat kaki mungilnya ditusuk jarum suntik hati saya miris sekali, tidak tega. Begitu hasil tes keluar, masyaallah. Hasilnya dede memang harus dirawat di perina. 

Dede langsung masuk kamar rawat khusus bayi itu. Saya? Pulang bersama suami dan kedua kakaknya. Kami hanya dibolehkan datang saat jam besuk atau saat si dede butuh ASI.

Sumpah, mellow banget rasanya saat itu. Niat hati mau fokus merah ASI di rumah untuk asupan dede, malah sering nangis. Padahal mood dan nangis itu mempengaruhi produksi ASI kan? Akhirnya saya memakai cara termudah yaitu menyewa pompa ASI listrik untuk proses memerah yang lebih mudah dan cepat. Karena tak memiliki stok ASI, maka saya harus berkejaran waktu memenuhi asupan dede di RS.

Alhamdulillahnya, dede tak perlu lama-lama dirawat. Dua hari kemudian dede pulang. Bilirubinnya sudah naik. Dede sudah pup dengan lancar juga. Sejak saat itu saya tak mau mengeluhkan lagi soal lelahnya menyusui dia. 

Selain soal proses kelahiran dan menyusui, ternyata setelah dede makin besar dia juga menampakkan sikap yang berbeda dengan kedua kakak perempuannya. Si dede, suka sekali dengan kegiatan melempar. Dia nggak suka sesuatu, dilempar. Dia mau ini, lempar. Dia iseng pun, lempar. Kakak-kakaknya bahkan sering dibuat menangis karena hal ini. Kalau menangis dia juga berlebihan. Seolah dia ingin menunjukkan kalau dia menangis, dia pasti akan dituruti. Dia sepertinya ada bakat tantrum.

Selain itu, dari segi bermain juga berbeda. Dulu kakak-kakaknya sejak kecil ketika saya arahkan untuk bermain menyortir warna, menyendok, mencapit, si kakak akan menjalaninya dengan baik tanpa banyak drama. Tapi dede? Baru berhasil beberapa kali, sisanya langsung dia acak-acak atau lempar. Ya Allah, benar-benar menguji kesabaran saya.

Ada yang sama nggak sih sama saya? Atau saya saja yang berlebihan menanggapinya? Huhu..

Well, karena hal ini akhirnya saya belajar lagi tentang perbedaan otak laki-laki dan perempuan. Termasuk soal bagaimana mendidik anak laki-laki dan perempuan yang ternyata berbeda.
Kalian ada info seru apa soal ini? Boleh dong berbagi sama saya..

Komentar

  1. Iya beda memang. Tapi bukan hanya pengaruh gender, karakter setiap anak juga berbeda, unik

    BalasHapus

Posting Komentar