Alyandra (Part 1)

"Alya, jadi kapan nih nyusul Rina nikah?" 

Sebuah pertanyaan yang kesekian kalinya didengar gadis berkebaya biru muda itu hanya dijawab dengan senyuman. 

Kenapa sih orang-orang harus menanyakan hal itu terus pada Alya? Apa sepenting itu bagi mereka untuk tahu kisah hidup Alya? Lagi pula jika mereka tahu, lantas mau apa? Mau ikut bantuin bayar biaya catering? Mau nambahin modal beli seragam panitia? Nggak kan? 

"Sahabatnya menikah, tapi kok kelihatan nggak bahagia sih?" tiba-tiba Rina yang sejak tadi berdiri di pelaminan kini berada di sebelah Alya. Dia ikut menikmati pemandangan beranda ballroom hotel tempat dilangsungkannya acara akad nikah dan resepsi Rina yang menghadap deretan pegunungan.

"Loh, kok kamu di sini?" bukannya menjawab, Alya malah bertanya balik.

"Acara resepsi sudah selesai. Kamu keasyikan mandangin gunung sampai lupa waktu deh," sindir Rina.

"Hehe, sorry. Soalnya pemandangan begini kan langka di Jakarta. Mau puas-puasin dulu sebelum besok kembali beraktivitas lagi," sahut Alya dengan cengiran khasnya.

"Bukan karena bete dengar pertanyaan orang-orang tentang kapan nikah?" tebak Rina. Ah, Alya lupa jika sahabatnya itu memang mirip cenayang. Dia selalu tahu apa yang Alya rasa dan pikirkan meski Alya tak bicara apapun.

Alya mendesah pelan, "Memang sepenting itu ya untuk mereka tahu kapan aku menikah?"

"Jelas. Siapa sih yang nggak penasaran kapan akhirnya seorang Alyandra Putri, gadis cantik dan pintar tapi sombongnya minta ampun ini akan membuka hatinya?" jawab Rina.

Alya menatap Rina sebal, "Siapa yang sombong?"

"Apa coba kalau bukan sombong namanya? Ada cowok datang minta kenalan, kamu langsung bilang sudah punya pacar. Ada cowok ngajak jalan, kamu malah gandeng Andi kesana kemari seolah dia pacar kamu. Sudah tak terhitung juga loh berapa cowok yang kamu tolak ketika menyatakan cinta," kata Rina.

"Kan kenyataannya aku nggak suka mereka. Jadi hal yang wajar kan kalau aku menolak mereka," sahut Alya.

"Nah, itulah akhirnya yang menjadi alasan kenapa banyak orang penasaran soal percintaan kamu. Mereka mau tahu seperti apa sosok cowok yang akhirnya bisa membuat kamu jatuh cinta hingga lanjut menikah," kata Rina.

Alya terdiam. Jangankan mereka, Alya saja tak tahu lelaki seperti apa yang akan bisa membuatnya jatuh cinta lagi. 

Rina tiba-tiba menatap Alya serius, "Mau sampai kapan, Al? Ini sudah bertahun-tahun loh."

Alya menghela nafasnya pelan. Selama ini dia selalu mengalihkan pembicaraan jika Rina sudah memulai ceramahnya soal Alya yang dinilai belum move on. Tapi kali ini, Alya membiarkan Rina membahasnya lebih lanjut. Mungkin sudah saatnya Alya 'sadar' akan kondisinya. 

"Sudah cukup kamu terkurung oleh masa lalu. Move on, Al. Pasti ada lelaki di luar sana yang benar-benar tulus sayang sama kamu. Kamu hanya perlu membuka diri," lanjut Rina.

Membuka diri? Yah, Alya tahu beberapa tahun ini memang dia seolah menutup segala akses bagi para lelaki yang berniat mendekatinya. Bahkan dia tak segan untuk menenteng Andi, adik lelakinya, untuk diakui sebagai kekasihnya hanya untuk membuat para lelaki itu mundur. Entahlah, Alya rasanya masih belum siap untuk berurusan dengan makhluk bernama lelaki.

"Umur kita sudah tak muda lagi, Al. Orang tua kamu juga sudah khawatir jika kamu sampai memutuskan untuk tak mau menikah. Jadi, coba buka hati kamu. Setidaknya pikirkan bagaimana perasaan mereka," tambah Rina.

Alya ingin menyahut, tapi tiba-tiba Doni, suami Rina datang.

"Sayang, masuk yuk. Tante Sari sama keluarganya sudah datang," ajak Doni pada Rina. "Eh, maaf. Lagi sesi curhat ya?"

Alya menggeleng, "Ngobrol santai saja kok. Ya sudah, kalian masuk sana. Aku tunggu sini saja."

"Nggak. Kamu harus masuk juga, Al. Masuk angin kamu kalau kelamaan di luar," paksa Rina sambil menggandeng Alya di sebelah kirinya sedangkan Doni di sebelah kanannya.

"Harus gandeng bertiga begini ya? Malu tau," bisik Alya yang merasa risih.

"Supaya kamu nggak kabur," balas Rina.

Setelah sampai di bagian VIP tempat para saudara kedua pengantin berkumpul, Rina baru melepaskan pegangannya. Di sana tampak dua orang tamu yang sedang duduk menunggu si punya hajat datang. Karena takut menganggu, Alya memilih untuk duduk di tempat lain.

"Nah, ini pengantin perempuannya. Hai, sayang. Selamat ya," sapa seorang perempuan paruh baya sambil bersalaman dan cipika-cipiki dengan Rina.

"Hai, Tante Sari. Makasih ya, Tante dan keluarga bisa mampir ke sini. Senang deh Rina," balas Rina.

"Tante yang senang karena akhirnya bisa datang ke acara kamu. Tapi maaf ya, ternyata dari bandara jalanan macet makanya kami baru sampai," kata tante Sari dengan nada bersalahnya.

"Nggak apa-apa kok, Tan. Rina tetap senang Tante sudah datang. Ya sudah, Tante sama Om silakan makan dulu. Sari akan panggil Alya kemari," balas Rina.

Tante Sari mengangguk. Dia sungguh tak sabar ingin bertemu dengan Alya.


Bersambung..

Komentar

  1. wah gimana kelanjutannya si ALya?

    dia introvert ya? atau memang belum mikir kesana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru ngeh komennya. Haha, sudah terjawab di lanjutannya yaa 😁

      Hapus

Posting Komentar