Kala Covid Menyapa


Ada yang penasaran dengan judul di atas? Atau mungkin ada yang mau tahu cerita lengkap ketika covid sempat menghampiri keluarga saya akhir tahun 2020 lalu?

Baiklah, saya akan bercerita tentang hal itu. Mudah-mudahan dapat menjadi pembelajaran bagi semua.

Qodarullah akhir desember 2020 kemarin pak suami dinyatakan positif covid 19. Pas banget saat itu si kakak baru libur naik semester dan  kami sudah booking hotel di Jogja karena ada rencana kondangan sekaligus liburan ke sana meski akhirnya batal. 

Rasanya? Campur aduk. Pertama yang saya rasakan nggak percaya dan kaget. Kok bisa? Kena dari mana? Yah, sampai saat ini kami pun hanya menduga-duga darimana datangnya virus tanpa tau yang sebenarnya. Mungkin kondisi pak suami memang lagi drop imunnya, jadi virus yang numpang lewat pun gampang nempel. Setelah berkaget ria, perasaan lain pun mulai berdatangan. Ada rasa nyesek karena gagal ke Jogja, bete karena harus #dirumahaja selama liburan, dan yang paling dirasakan itu sedih. Iya. Sedih banget rasanya. Hari pertama pak suami isolasi sendiri di rumah, saya nangis terus.

Eh, pak suami isolasi sendirian di rumah? Iya. Demi keamanan dan kenyamanan bersama, saya dan anak-anak "diungsikan" ke rumah eyangnya. Jadi, untuk pertama kali dalam hidup berumah tangga, saya dan suami menjalani LDM untuk jangka waktu berminggu-minggu. Baper banget rasanya ternyata. Salut tuk pejuang LDM yang bisa bertahan berbulan-bulan bahkan tahunan. Semoga kalian bisa segera dikumpulkan ya. Kalau pun masih belum, semoga cinta kalian senantiasa dikuatkan. Aamiin.

Nah, selama hampir tiga mingguan pak suami isolasi mandiri di rumah, banyak yang nanya tuh gimana makannya? Urus keperluannya? Alhamdulillah ternyata Allah kirim tetangga baik hati di sekitar kami. Tetangga satu gang bergiliran memberi pak suami makan tiga kali sehari. Itu pun makanan yang jelas enak, bergizi, bukan kasih asal makanan. Belum lagi buah, camilan, vitamin, dllnya. Tetangga jauh juga banyak yang kasih bantuan. Masyaallah, semoga Allah balas dengan kebaikan dan pahala berlipat. Aamiin.

Kalau soal cuci baju, cuci piring, masak nasi, alhamdulillah pak suami itu tipe suami yang mau dan bisa beberes. Semua nggak jadi masalah selama kami berpisah. Pak suami tetap cuci baju, jemur, nyapu, ngepel, intinya rumah tetap dalam kondisi baik dan bye kapal pecah. Masyaallah tabarakallah pak suami 😘.

Terus saya dan anak-anak di rumah eyangnya gimana? Isolasi mandiri juga? Iyess. Sebelum vonis positif datang, pak suami sempat ikut ke rumah eyangnya untuk isolasi di kamar bawah. Di rumah eyang, pak suami dapat benar-benar isolasi dibanding jika di rumah kami yang terbatas tempatnya. Jadi bisa dikatakan kami ada kontak dengan pak suami. Terutama saya, yang masih keluar masuk kamar tempat pak suami isolasi untuk kasih makan, obat, atau sekedar ngobrol supaya nggak bete. Hanya saya tetap menjaga prokes. Pakai masker dan langsung cuci tangan setiap habis kontak dengan pak suami.

Nah, setelah beliau tes swab untuk pertama kali, pak suami akhirnya balik ke rumah kami sendiri. Dia bisa lebih bebas dan nyaman di rumah sendiri. Nggak mau merepotkan eyangnya juga sih.

Untuk saya pribadi, karena saya tetap harus mengurus anak-anak, saya tidak bisa melakukan pisah kamar. Saya hanya ikhtiar dengan selalu memakai masker hampir selama 24 jam. Serius. Saat tidur pun saya pakai masker. Engep banget rasanya, tapi mau gimana lagi? Bahaya kalau ternyata saya OTG dan menularkan anak-anak atau eyangnya yang sudah tua.

Nah, karena kami ingin memastikan kondisi kami apakah tertular atau tidak, maka kami akhirnya melakukan rapid antigen. Saya, eyang ati, eyang atung, dan mbak ART pergi ke RS Siloam Bekasi Timur untuk tes rapid antigen. Kenapa di sana? Karena mepet mall. Bisa sekalian cuci mata lah ya *ehh. Bukan deh. Karena baru RS itu yang sudah menyediakan rapid antigen, sedangkan rumah sakit lain saat itu belum. Akhirnya kami melakukan rapid antigen dan hasilnya mbak ART ternyata positif sedangkan kami negatif.

Agak kaget sih si mbak ternyata positif. Dia memang suka batuk-batuk. Tapi nggak kepikiran kalau itu corona. Malah kami kontak erat banget sama dia. Si bayi juga sering digendong2 dia. Sempet parno banget, takut anak-anak kena. Tapi yakin aja kalau kami sehat, kuat, dan alhamdulillah beneran sehat.

Setelah itu si mbak ART langsung isolasi mandiri di kamar bawah bekas pak suami kemarin. Setelah beberap hari, akhirnya si mbak dipindahkan ke rumah eyang yang satunya lagi, hanya beda satu rumah dari rumah eyang saat ini. Si mbak pun melakukan isolasi mandiri di sana. Kami setidaknya merasa lebih aman kan ya. Si Mbak juga bisa lebih leluasa untuk berjemur diri atau melakukan kegiatan lain karena gejala yang dirasa hanya batuk saja. Bisa mati bosen kalau cuma di kamar aja katanya, huhu.

Terus gimana ceritanya kok Pak suami bisa kena? Apa gejalanya? Awal yang dirasa apa?

Saat itu, Selasa 15/12 pak suami mengeluh masuk angin. Badannya nggak enak. Demam juga. Terus rasanya linu. Akhirnya minta kerokan dan saya lakukan. Hari itu kami masih kedatangan tamu tukang yang membetulkan atap bocor. 

Rabu 16/12, pak suami mulai merasa makin nggak enak badan. Lemas. Mulai batuk pilek sedikit. Saya langsung inisiatif minta pak suami untuk pisah kamar. Beliau di kamar depan dan tak keluar kamar tanpa ada keperluan. Pak suami juga saya minta untuk selalu memakai masker. Saya masih kontak dengan beliau untuk urusan makan, kasih obat, tapi selalu diakhiri dengan cuci tangan sebelum kontak dengan anak-anak.

Kamis 17/12 karena merasa ribet mengurus tiga anak + rumah, akhirnya saya minta eyangnya untuk jemput kami. Kami akan tinggal di sana. Pak suami akan isolasi mandiri di kamar bawah. Kami pun satu mobil dengan memakai masker.

Jumat 18/12 kondisi masih sama.

Sabtu 19/12 pak suami bilang kalau tidak bisa mencium minyak kayu putih. Fix, saat itu saya dan pak suami langsung mikir kalau beliau harus tes swab. Akhirnya beliau daftar swab di rumah sakit Primaya atau Awal Bros Bekasi Timur untuk hari Senin.

Senin 21/12 Pak suami swab dan tetap melanjutkan isolasi mandiri. Kondisi sudah nggak demam, batuk pilek mulai mereda hanya masih hilang penciuman.

Selasa 22/12 Pak suami pulang ke rumah kami untuk melanjutkan isolasi mandiri jika ternyata hasilnya positif.

Rabu 23/12 hasil tes keluar. Pak suami positif. Saat tau hasil itu, posisi saya dan anak-anak sedang ikut eyang urus pekerjaan ke Harapan Indah. Kami lagi makan siang di restoran dan langsung syok luar biasa. Kalau bisa nangis, rasanya nangis deh saat itu juga.

Kamis 31/12 saya dapat jadwal swab dari puskesmas. Saya pun dianter eyangnya untuk tes. Pak suami malah belum mendapatkan jadwal untuk tes swab dari puskesmas.

Sabtu 2/1, hari ke sebelas pak suami isolasi mandiri di rumah dan akhirnya memutuskan untuk swab kedua di sebuah klinik di daerah Rawa Lumbu. Kondisi pak suami saat itu sudah sehat. Hanya tenggorokan yang masih kurang enak karena ada dahaknya.

Minggu 3/1 hasil swab keluar dan ternyata pak suami masih positif. Syok lagi? Iya. Khususnya pak suami. Itu artinya beliau harus lanjut isolasi mandiri lagi. Hal yang dirasa menyiksa bagi pak suami. Saya tak berdiam diri. Cari info sana-sini soal masalah ini. Hingga akhirnya saya sampai di beberapa informasi yang menyatakan  bahwa virus covid sudah dinyatakan aman dan tidak menular jika pasien sudah melakukan isolasi mandiri selama 10 hari + 3 hari. Jika terhitung dari muncul gejala, pak suami malah sudah 19 hari. 

Senin 4/1 hasil tes swab saya keluar. Alhamdulillah negatif. 

Kamis 7/1 pak suami akhirnya dapat jadwal tes swab dari puskesmas. Beliau sudah eneg banget sama tes ini padahal. Tapi mau gimana lagi kan ya? huhuhu.

Sabtu 9/1 hasil swab pak suami keluar. Hasilnya? Masih positif pemirsa! Lah, kok bisa? Dari info dokter yang saya baca, virus covid ini walaupun sudah mati, tapi bangkainya masih terdeteksi oleh alat PCR. Jadi, bangkai-bangkai itu lah yang membuat pak suami masih mendapat hasil positif meski dari kondisi sudah sehat dan tidak menular karena sudah melewati batas waktu isolasi mandiri.

Karena beberapa syarat itu, akhirnya pak suami konsultasi dengan dokter di puskesmas hingga akhirnya dikeluarkanlah 'surat sakti' yang menyatakan pak suami sehat dan sudah tidak menularkan. Alhamdulillah dokter itu mengikuti update terbaru soal covid ini. Jadi, tidak memaksa harus hasil negatif baru dinyatakan selesai isolasi mandiri.

Akhirnya drama covid di keluarga kami berakhir. 12 Januari 2020 saya dan anak-anak kembali ke rumah. Kami kembali berkumpul lengkap. Masyaallah, rasanya terharu banget hari itu. Benar-benar bahagia. Memang pertemuan setelah perpisahan itu rasanya sweet banget.

Nah, di sini saya mau menggarisbawahi beberapa info terkait covid yang mungkin masih belum dipahami oleh masyarakat luas. Tapi berhubung saya bukan dokter, jadi saya cantumkan saja beberapa link yang menjadi acuan saya dalam mencari info terbaru terkait covid. Mereka ini para dokter hebat, yang belakangan ini wara-wiri di TV atau media sosial lain untuk melakukan penyuluhan terkait covid. 

Monggo diupdate infonya ya, Buk, Pak.

Semoga bisa dijadikan pelajaran agar lebih menjaga diri dan keluarga lebih baik lagi ke depannya 😊


Open:

PCR positif terus = sakit terus?  

Menghadapi tes swab yang masih positif

Kapan saya dikatakan sembuh dari covid?


Komentar